Aceh Tenggara – Potret kelalaian kembali mencoreng dunia pendidikan. Proyek revitalisasi SD Negeri Lawe Bekung, Kecamatan Badar, Kabupaten Aceh Tenggara, yang menelan anggaran sebesar Rp 411.961.278 dari APBN 2025, kini menuai sorotan tajam.
Dalam dokumentasi foto bertanggal 23 September 2025 pukul 11.18 WIB, terlihat sejumlah pekerja tengah beraktivitas di lokasi proyek tanpa perlengkapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Tidak ada helm, sepatu safety, rompi pelindung, bahkan beberapa pekerja bertelanjang dada di atas perancah kayu seadanya. Fakta ini tidak hanya membahayakan keselamatan, tetapi juga membuka borok kelalaian dalam pengelolaan anggaran negara.
Mirisnya, proyek berskala ratusan juta ini bukan ditangani oleh pihak ketiga, melainkan dikelola langsung oleh pihak sekolah melalui Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab kegiatan. Publik pun bertanya, sejauh mana kapasitas Kepala Sekolah dalam memahami tanggung jawab teknis maupun hukum yang melekat pada jabatan dan pengelolaan dana publik tersebut?
Sejumlah LSM geram melihat pelanggaran ini. Ketua Wadah Generasi Anak Bangsa (WGAB) DPD Aceh, Samsul Bahri menyatakan bahwa kondisi tersebut mencerminkan tidak adanya tanggung jawab dan kesadaran terhadap keselamatan pekerja. Ia menilai, minimnya perlengkapan keselamatan merupakan pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja serta PP Nomor 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3.
“Ini bukan hanya keteledoran, ini pelanggaran hukum. Kepala sekolah sebagai penanggung jawab proyek harus diberikan teguran keras, kalau perlu dicopot karena dianggap tidak mampu menjamin pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan hukum,” tegas Samsul.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Lembaga Komando Garuda Sakti Aliansi Indonesia (LKGSAI) DPD Aceh, Saidul Amran. Ia menyebut kondisi lapangan menunjukkan lemahnya fungsi kontrol dari Dinas Pendidikan Aceh Tenggara, yang seolah lepas tangan setelah menyerahkan anggaran ke sekolah.
“Pekerja tanpa keselamatan dibiarkan begitu saja. Ini bukan hanya merusak proses pengadaan, tetapi juga membahayakan nyawa manusia. Di mana kehadiran inspektorat? Di mana pengawasan dari dinas pendidikan? Ini harus ditindak,” ujarnya geram.
Dua LSM tersebut dengan tegas menyebut bahwa proyek sekolah ini berpotensi melanggar sejumlah regulasi penting lainnya, yaitu:
- UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
- PP No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3
- Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang K3 Lingkungan Kerja
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Menurut mereka, pelanggaran ini tidak hanya mengancam keselamatan pekerja, tetapi juga membuka celah terjadinya dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana pendidikan.
WGAB dan LKGSAI pun menyatakan bahwa bukti yang ada sudah cukup menjadi dasar tindakan hukum awal. Mereka meminta agar Dinas Pendidikan, Inspektorat Daerah, serta Aparat Penegak Hukum (APH) tidak tinggal diam.
“Jangan tunggu korban jiwa. Bukti foto itu sudah cukup kuat untuk melakukan evaluasi dan penyelidikan. Kepala sekolah harus dipanggil, diperiksa, dan jika terbukti lalai, segera dicopot,” pungkas Samsul.
Proyek revitalisasi pendidikan seharusnya menjadi etalase kemajuan dan tanggung jawab terhadap generasi penerus. Namun bukti di lapangan menunjukkan wajah buram dari tata kelola yang abai terhadap aspek perlindungan tenaga kerja.
Kini masyarakat menanti keberanian pemerintah daerah dan instansi terkait dalam menegakkan aturan. Apakah pelanggaran ini akan ditindak tegas, atau justru kembali dibiarkan lenyap bersama dalih-dalih pembangunan?
(Tim Redaksi)